Selasa, 28 April 2015

KILAS BALIK KRISIS EKONOMI TAHUN 97-98 SERTA PEREKONOMIAN TAHUN 2015

2.1 Awal Terjadinya Krisis Ekonomi Yang Muncul Di Indonesia
Krisis pertama yang dialami Indonesia masa orde baru adalah kondisi ekonomi yang sangat parah warisan orde lama. Sebagian besar produksi terhenti dan laju pertumbuhan ekonomi selama periode 1962-1966 kurang dari 2% yang mengakibatkan penurunan pendapatan per kapita. Defisit anggaran belanja pemerintah yang sebagian besar dibiayai dengan kredit dari BI meningkat tajam dari 63%  dari penerimaan pemerintah tahun 1962 menjadi127% tahun 1966. Selain itu, buruknya perekonomian Indonesia masa transisi juga disebabkan oleh besarnya defisit neraca perdagangan dan utang luar negeri, yang kebanyakan diperoleh dari negara blok timur serta inflasi yang sangat tinggi. Disamping itu, pengawasan devisa yang amat ketat menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS naik dua atau tiga kali lipat. Akibatnya terjadi kegiatan spekulatif dan pelarian modal ke luar negeri. Hal ini memperburuk perekonomian Indonesia pada masa itu (Siregar,1987).
Krisis kedua adalah laju inflasi yang tinggi pada tahun 1970-an. Hal ini disebabkan karena banyaknya jumlah uang yang beredar dan krisis pangan akhir tahun 1972. Laju inflasi memuncak hingga 41% tahun 1974 (Hill, 1974). Selain itu terjadi devaluasi rupiah sebesar 50% pada November 1978.
Bulan September 1984, Indonesia mengalami krisis perbankan, yang bermula dari deregulasi perbankan 1 Juni 1983 yang memaksa bank-bank negara untuk memobilisasi dana mereka dan memikul risiko kredit macet, serta bebas untuk menentukan tingkat suku bunga, baik deposito berjangka maupun kredit (Nasution,1987). Masalah-masalah tersebut terus berlangsung hingga terjadi krisis ekonomi yang bermula pada tahun 1997 (Tambunan,1998).
Terakhir, antara tahun 1990-1995 ekonomi Indonesia beberapa kali mengalami gangguan dari waktu ke waktu. Pertama, walaupun tidak menimbulkan suatu krisis yang besar, apresiasi nilai tukar yen Jepang terhadap dollar AS sempat merepotkan Indonesia. Laju pertumbuhan ekspor Indonesia sempat terancam menurun dan beban ULN dari pemerintah Jepang meningkat dalam nilai dollar AS. Kedua, pada awal tahun 1994, perekonomian Indonesia cukup terganggu dengan adanya arus pembelian dollar AS yang bersifat spekulatif karena beredar isu akan adanya devaluasi rupiah (Tambunan,1998).
Sumber: Tambunan (1998)  pertukaran bath-dollar.
Dari tahun 1985 ke tahun 1995, Ekonomi Thailand tumbuh rata-rata 9%. Pada 1996, dana hedge Amerika telah menjual $400 juta mata uang Thai. Dari 1985 sampai 2 Juli 1997, baht dipatok 25 bath per dollar AS.Pada tanggal 14 dan tanggal 15 Mei 1997, nilai tukar bath Thailand terhadap dolar AS mengalami goncangan akibat para investor asing mengambil keputusan “jual”, karena tidak percaya lagi terhadap prospek perekonomian dan ketidakstabilan politik Negara Thailand. Untuk mempertahankan nilai tukar bath agar tidak jatuh terus, Thailand melakukan intervensi yang didukung oleh Bank Sentral Singapura. Namun, pada tanggal 2 Juli 1997, Bank Sentral Thailand mengumumkan bahwa nilai tukar bath dibebaskan dari ikatan dollar AS dan meminta bantuan IMF. Pengumuman ini menyebabkan nilai bath terdepresiasi sekitar 15-20% hingga mencapai nilai terendah, yakni 28,20 bath per dollar AS. Pada 1997, sebenarnya kondisi ekonomi di Indonesia tampak jauh dari krisis. Tidak seperti Thailand, tingkat inflasi Indonesia lebih rendah. Nilai tukar rupiah terhadap dolar, menguat. Dalam kondisi ekonomi seperti itulah, banyak perusahaan di Indonesia meminjam uang dalam bentuk dolar AS.
Krisis moneter yang terjadi di Thailand ini, menyebabkan Indonesia dan beberapa negara Asia, seperti Filipina, Korea dan Malaysia mengalami krisis keuangan. Ketika krisis melanda Thailand, nilai baht terhadap dolar anjlok dan menyebabkan nilai dolar menguat. Penguatan nilai tukar dolar berimbas ke rupiah. Sekitar bulan Juli 1997, di Indonesia terjadi depresiasi nilai tukar rupiah, nilai rupiah terus merosot. Di bulan Agustus 1997 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah dari Rp2.500,00 menjadi Rp2.650,00 per dolar AS. Sejak saat itu, posisi mata uang Indonesia mulai tidak stabil. Padahal, pada saat itu hutang luar negeri Indonesia, baik swasta maupun pemerintah, sudah sangat besar. Tatanan perbankan nasional kacau dan cadangan devisa semakin menipis.Perusahaan yang tadinya banyak meminjam dolar (ketika nilai tukar rupiah kuat terhadap dolar), kini sibuk memburu atau membeli dolar untuk membayar bunga pinjaman mereka yang telah jatuh tempo, dan harus dibayar dengan dolar. Nilai rupiah pun semakin jatuh lebih dalam lagi. IMF datang dengan paket bantuan 23 milyar dolar, tapi tidak mampu memperbaiki keadaan. Malahan akhirnya paket bantuan IMF itu, yang dalam penggunaannya banyak terjadi penyelewengan, semakin menambah beban utang yang harus ditanggung oleh rakyat Indonesia.
Penyebab Krisis Ekonomi Indonesia tahun 1997-1998 :
1.      Stok hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek, telah menciptakan kondisi bagi “ketidakstabilan”. Hal ini diperburuk oleh rasa percaya diri yang berlebihan, bahkan cenderung mengabaikan, dari para menteri di bidang ekonomi maupun masyarakat perbankan sendiri menghadapi besarnya serta persyaratan hutang swasta tersebut.
2.      Banyaknya kelemahan dalam sistem perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah hutang swasta eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri.
3.       Sejalan dengan makin tidak jelasnya arah perubahan politik, maka isu tentang pemerintahan otomatis berkembang menjadi persoalan ekonomi pula.Hill (1999) menulis bahwa banyaknya pihak yang memiliki vested interest dengan intrik-intrik politiknya yang menyebar ke mana-mana telah menghambat atau menghalangi gerak pemerintah, untuk mengambil tindakan tegas di tengah krisis.
4.      Perkembangan situasi politik telah makin menghangat akibat krisis ekonomi, dan pada gilirannya memberbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri. Faktor ini merupakan hal yang paling sulit diatasi. Kegagalan dalam mengembalikan stabilitas sosial-politik telah mempersulit kinerja ekonomi dalam mencapai momentum pemulihan secra mantap dan berkesinambungan.

Krisis Rupiah Hingga Krisis Ekonomi
Indonesia merupakan salah satu Negara di Asia yang mengalami krisis mata uang, kemudian disusul oleh krisis moneter dan berakhir dengan krisis ekonomi yang besar. Seperti diungkapkan oleh Haris (1998), 
“Krisis ekonomi yang dialami Indonesia sejak tahun 1997 adalah yang paling parah sepanjang orde baru. Ditandai dengan merosotnya kurs rupiah terhadap dolar yang luar biasa, serta menurunnya pendapatan per kapita bangsa kita yang sangat drastis. Lebih jauh lagi, sejumlah pabrik dan industri yang bakal collaps atau disita oleh kreditor menyusul utang sebagian pengusaha yang jatuh tempo pada tahun 1998 tak lama lagi akan menghasilka ribuan pengngguran baru dengan sederet persoalan sosial. Ekonom, dan politik yang baru pula”
Menurut Fischer (1998), sesungguhnya pada masa kejayaan Negara-negara Asia Tenggara, krisis di beberapa negara, seperti Thailand, Korea Selatan, dan Indonesia, sudah bisa diramalkan meski waktunya tidak dapat dipastikan. Misalnya di Thailand dan Indonesia, defisit neraca perdagangan terlalu besar dan terus meningkat setiap tahun, sementara pasar properti dan pasar modal di dalam negeri berkembang pesat tanpa terkendali. Selain itu, nilai tukar mata uang di dua Negara tersebut dipatok terhadap dolar AS terlalu rendah yang mengakibatkan ada kecenderungan besar dari dunia usaha didalam negeri untuk melakukan pinjaman luar negeri, sehingga banyak perusahaan dan lembaga keuangan di negara-negara itu menjadi sangat rentan terhadap risiko perubahan nilai tukar valuta asing. Dan yang terakhir adalah aturan serta pengawasan keuangan oleh otoriter moneter di Thailand dan Indonesia yang sangat longgar hingga kualitas pinjaman portfolio perbankan sangat rendah.

Anggapan Fischer tersebut dapat membantu untuk menentukan apakah krisis rupiah terjadi karena krisis bath Thailand.  Sementara menurut McLeod (1998), krisis rupiah di Indonesia adalah hasil dari akumulasi kesalahan-kesalahan pemerintah dalam kebijakan-kebijakan ekonominya selama orde baru, termasuk diantaranya kebijakan moneter yang mempertahankan nilai tukar rupiah pada tingkat yang overvalued.
Krisis moneter yang terjadi di Indonesia sejak awal Juli 1997, di akhir tahun itu telah berubah menjadi krisis ekonomi. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, menyebabkan harga-harga naik drastis. Banyak perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran. Jumlah pengangguran meningkat dan bahan-bahan sembako semakin langka.Krisis ini tetap terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank Dunia. Yang dimaksud fundamental ekonomi yang kuat adalah pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, cadangan devisa masih cukup besar dan realisasi anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus.

Keterangan
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
Pertumbuhan ekonomi (%)
7,24
6,95
6,46
6,50
7,54
8,22
7,98
4,65
Tingkat Inflasi (%)
9,93
9,93
5,04
10,18
9,66
8,96
6,63
11,60
Neraca pembayaran (US$)
2,099
1,207
1,743
741
806
1,516
4,451
-10,021
Neraca perdagangan
5,352
4,801
7,022
8,231
7,901
6,533
5,948
12,964
Neraca berjalan
-3,24
-4,392
-3,122
-2,298
-2,96
-6,76
-7,801
-2,103
Neraca modal
4,746
5,829
18,111
17.972
4,008
10,589
10,989
-4,845
Pemerintah (neto)
633
1,419
12,752
12,753
307
336
-522
4,102
Swasta (neto)
3,021
2,928
3,582
3,216
1,593
5,907
5,317
-10,78
PMA (neto)
1,092
1,482
1,777
2,003
2,108
4,346
6,194
1,833
Cadangan devisa akhir tahun (US$)
8,661
9,868
11.611
12,352
13,158
14,674
19,125
17,427
(bulan impor nonmigas c&f)
4,7
4,8
5,4
5,4
5,0
4,3
5,2
4,5
Debt-service ratio (%)
30,9
32,0
31,6
33,8
30,0
33,7
33,0
Nilai tukar Des. (Rp/US$)
1,901
1,992
2,062
2,11
2,2
2,308
2,383
4.65
APBN* (Rp.milyar)
3,203
433
-551
-1,852
1,495
2,807
818

*Tahun anggaran
Sumber : BPS,Indikator ekonomi; Bank Indonesia, Statistik Keuangan Indonesia; World Bank, Indonesia in Crisis, July 2, 1998
Menanggapi perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang mulai merosot sejak bulan Mei 1997, pada bulan Juli 1997 BI melakukan empat kali intervensi dengan memperlebar rentang intervensi. Namun pengaruhnya tidak banyak. Nilai rupiah dalam dolar AS terus tertekan. Tanggal 13 Agustus 1997 rupiah mencapai nilai terendah hingga saat itu, yakni dari Rp2.655,00 menjadi Rp2.682,00 per dollar AS. BI akhirnya menghapuskan rentang intervensi dan pada akhirnya rupiah turun ke Rp2.755,00 per dollar AS. Tetapi terkadang nilai rupiah juga mengalami penguatan beberapa poin. Misalnya, pada bulan Maret 1988 nilai rupiah mencapai Rp10.550,00 untuk satu dollar AS, walaupun sebelumnya, antara bulan Januari dan Februari sempat menembus Rp11.000,00 rupiah per dollar AS. Selama periode Agustus 1997-1998, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terendah terjadi pada bulan Juli 1998, yakni mencapai nilai antara Rp14.000,00 dan Rp15.000,00 per dollar AS. Sedangkan dari bulan September 1998 hingga Mei 1999, perkembangan kurs rupiah terhadap dolar AS berada pada nilai antara Rp8.000,00 dan Rp11.000,00 per dollar AS. Selama periode 1 Januari 1998 hingga 5 Agustus 1998, depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS adalah yang paling tinggi dibandingkan dengan mata uang-mata uang Negara-negara Asia lainnya .


Krisis Moneter Suatu Negara Bisa Dilihat Dari
Banyaknya modal asing yang masuk ke dalam sektor keuangan negara tersebut. Banjirnya modal asing ke perbankan menandakan suatu negara sudah masuk ke dalam fase pertama krisis keuangan.
Saat ini, Indonesia sudah memasuki fase kedua yang mana modal asing masuk tidak lagi melalui perbankan, tetapi juga sudah membanjiri pasar modal tanah air. Artinya, jika investor asing suatu saat 'bermigrasi' dari Indonesia, bukan hal yang tidak mungkin Indonesia akan menghadapi krisis moneter.
mari kita bandingkan dengan data historis pergerakan rupiah itu sendiri. Berikut ini taampilan pergerakan rupiah dalam infografis.

  Dampak krisis ekonomi terhadap perekonomian Indonesia
            Sejak bulan Juli 1997, Indonesia mulai terkena imbas krisis moneter yang menimpa dunia khususnya Asia Tenggara. Struktur ekonomi nasional Indonesia saat itu masih lemah untuk mampu menghadapi krisis global tersebut.
Dampak negatif yang ditimbulkan antara lain :
1.      Kurs rupiah terhadap dollar AS melemah pada tanggal 1 Agustus 1997, pemerintah melikuidasi 16 bank bermasalah pada akhir tahun 1997, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang mengawasi 40 bank bermasalah lainnya dan mengeluarkan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) untuk membantu bank-bank bermasalah tersebut. Namun kenyataannya terjadi manipulasi besar-besaran terhadap dana KLBI yang murah tersebut.
2.      Kepercayaan internasional terhadap Indonesia menurun, perusahaan milik Negara dan swasta banyak yang tidak dapat membayar utang luar negeri yang akan dan telah jatuh tempo, angka pemutusan hubungan kerja meningkat karena banyak perusahaan yang melakukan efisiensi atau menghentikan kegiatannya, kesulitan menutup APBN, biaya sekolah di luar negeri melonjak, laju inflasi yang tinggi, angka kemiskinan meningkat dan persediaan barang nasional, khususnya Sembilan bahan pokok di pasaran mulai menipis pada akhir tahun 1997. Akibatnya, harga-harga barang naik tidak terkendali dan berarti biaya hidup semakin tinggi.

Selain memberi dampak negatif, krisis ekonomi juga membawa dampak positif yaitu :

1.      Secara umum impor barang, termasuk impor buah menurun tajam, perjalanan ke luar negeri dan pengiriman anak sekolah ke luar negeri,kebalikannya arus masuk turis asing akan lebih besar, meningkatkan ekspor khususnya di bidang pertanian, proteksi industri dalam negeri meningkat, dan adanya perbaikan dalam neraca berjalan.
2.      Krisis ekonomi juga menciptakan suatu peluang besar bagi Unit Kecil Menengah (UKM) dan Industri Skala Kecil (ISK), yakni pertumbuhan jumlah unit usaha,jumlah pekerja atau pengusaha, munculnya tawaran dari IMB untuk melakukan mitra usaha dengan ISK, peningkatan ekspor, dan peningkatan pendapatan untuk kelompok menengah ke bawah. Namun secara keseluruhan, dampak negatif dari jatuhnya nilai tukar rupiah masih lebih besar dari dampak positifnya.

Kelemahan RI Ketika Terjadi Krisis Tahun 1997/1998
Salah satu kelemahan Indonesia saat terjadinya krisis 1997/1998 adalah tidak adanya transparansi pengelolaan keuangan. Kala itu, tidak ada yang mengetahui berapa besaran utang pemerintah maupun swasta.
Demikianlah yang diungkapkan oleh Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo kepada wartawan di kantornya, Jakarta, Jumat (6/9/2013)
"Di tahun 97/98 itu belum ada Undang-Undang (UU) keuangan negara dan UU perbendaharaan negara, ditahun 97/98 itu kita nggak tahu besarannya utang swasta. Itu kita nggak tahu utang pemerintah itu sebetulnya berapa," ungkap Agus.
Saat utang tidak diketahui, tentunya berbahaya buat perekonomian. Sebab ketika utang jatuh tempo di waktu yang sama, maka dimungkinkan mengganggu ketersediaan dolar didalam negeri. Sehingga berujung pada pelemahan rupiah.
Berbeda dengan sekarang, Agus menyatakan kondisi utang swasta dan pemerintah yang transparan. Ini dapat membentu kepercayaan pasar terkait bagaimana pengelolaan keuangan di Indonesia.
"Sekarang itu semuanya ada, utangnya pemerintah pusat berapa, utangnya pemda berapa, utangnya BUMN berapa, majority profile-nya seperti apa, currency-nya seperti apa kita tahu. Jadi yang ingin saya sampaikan ini adalah masalah kepercayaan," pungkasnya.


Pelemahan Rupiah dan Kondisi Ekonomi Indonesia Saat Ini

Berdasarkan data dari Bank Indonesia (BI), pada tanggal 14 Maret 2015, Rupiah ditutup di posisi Rp13,191 per US Dollar, dan ini adalah posisi terendah bagi mata uang Rupiah terhadap US Dollar sejak krisis moneter tahun 1998. Jadi meski penulis pribadi dalam satu dua tahun terakhir ini berusaha untuk tutup mata terhadap perkembangan ekonomi makro dan tetap fokus pada faktor fundamental perusahaan dalam berinvestasi di pasar saham, namun hal ini mau tidak mau tetap kelihatan, karena bahkan pada krisis global tahun 2008 sekalipun, posisi nilai tukar Rupiah tidak pernah turun sampai serendah ini. Pada puncak krisis global tahun 2008, Rupiah hanya anjlok sampai Rp12,768 per US Dollar sebagai titik terendahnya, sebelum kemudian segera balik lagi ke level normalnya yakni Rp9,000-an per US Dollar.
           Menariknya, kita tahu bahwa pada tahun 1998 dan juga 2008, Indonesia sempat dilanda krisis ekonomi termasuk bursa saham ketika itu juga hancur berantakan. Tetapi pada hari ini, meski kondisi Rupiah tampak mengkhawatirkan namun kondisi perekonomian secara umum tampak masih berjalan normal, dan IHSG juga justru malah sukses break new high dalam beberapa bulan terakhir. Anda mungkin bertanya, sebenarnya Indonesia sedang dalam kondisi krisis, baik-baik saja, apa gimana?

Nah, terkait hal ini, penulis hendak mengajak anda untukflashback  ke tahun 2013 lalu, tepatnya pada tanggal 23 Agustus 2013, dimana Pemerintah Indonesia ketika itu meluncurkan paket kebijakan ‘penyelamatan ekonomi’, terutama untuk mengatasi gejolak pelemahan Rupiah yang ketika itu sudah menembus Rp11,000 per USD. Sedikit mengingatkan, kondisi pasar saham ketika itu berbanding terbalik dengan saat ini dimana IHSG terpuruk di level 4,200-an, atau anjlok lebih dari 1,000 poin dibanding posisi puncaknya pada bulan Mei di tahun yang sama. Jadi boleh dibilang bahwa ‘problem’ yang dihadapi Pemerintah ketika itu ada dua, yakni pelemahan Rupiah itu sendiri (yang dikeluhkan para pelaku usaha riil), dan juga pelemahan IHSG (yang dikeluhkan para investor dan pelaku pasar modal lainnya). Dan mungkin itu sebabnya Presiden SBY ketika itu gerak cepat dengan meluncurkan paket kebijakan tadi, karena beliau dihadapkan pada tekanan baik dari para pengusaha maupun investor di pasar modal.
Problem yang sesungguhnya yang dihadapi Indonesia ketika itu (tahun 2013) adalah :
     1.      Perlambatan pertumbuhan ekonomi, Akibat  Defisitnya neraca ekspor impor, yang disebabkan oleh
    Meningkatnya nilai impor peralatan dan mesin-mesin industri karena pertumbuhan industri        manufaktur di dalam negeri
     2.  Turunnya nilai ekspor karena turunnya harga batubara, CPO, serta karet, yang merupakan tiga komoditas utama ekspor Indonesia.
    Pada tahun 2013, pertumbuhan ekonomi Indonesia memang tercatat hanya 5.8%, alias turun signifikan dibanding puncaknya yakni 6.9% pada tahun 2011. Jadi ketika Rupiah melemah sampai menembus Rp11,000 per Dollar, maka itu adalah refleksi dari perlambatan pertumbuhan ekonomi tadi, dimana jika fundamental perekonomian Indonesia melemah, maka Rupiah sebagai ‘saham Indonesia’ juga akan turut melemah.



Tantangan Indonesia Ketika Menghindari Krisis Ekonomi 97-98
Sejak pertengahan tahun ini pasar Emerging Market (EM) mendapatkan tekanan, namun EM yang memiliki fundamental domestik lebih kuat akhir-akhir ini mendapatkan kestabilan. Namun sebagian negara pasar negara berkembang lainnya mengalami tekanan signifikan khususnya di Indonesia, sentimen para investor semakin negatif akibat 4 tantangan utama, antara lain:
  1. Timpangnya defisit neraca berjalan
  2. Inflasi yang tinggi
  3. pelambatan pertumbuhan
  4. kerapuhan dari kepemilikan aset oleh asing 
Konsekuensi nya mata uang Rupiah mengalami depresiasi sebesar 8% sejak bulan Juli 2013, tidak terpengaruh oleh kenaikan BI rate sebesar 75 basis point. Bagaimanapun terulangnya krisis 1997 - 1998 saat ini masih kecil kemungkinannya, karena cukup banyak yang telah dipelajari oleh Asia supaya kasus 1997 tidak terulang lagi.
Akankah Terulang Krisis Ekonomi Indonesia Tahun 1997-1998 ?
Sebelum melihat kabar ekonomi mengenai bagaimana prospek dan potensi terulangnya krisis seperti pada tahun 1997-1998, ada baiknya kita melihat terlebih dahulu asal mula atau indikasi terjadinya krisis pada tahun 1997-1998.

Krisis 1997 Bermula dari Thailand
Krisis finansial yang melanda Asia pada tahun 97-98 bermula dari ulah spekulan terhadap mata uang Thailand, yakni Baht. Pada bulan Mei 1997, Baht terkena serangan para spekulan, namun pemerintah Thailand memutuskan untuk tidak akan mendevaluasi mata uangnya.
Namun untuk mempertahankan nilai mata uangnya, diperlukan cadangan devisa yang besar dan cadangan devisa dari Thailand pada saat itu ternyata tidak kuat untuk mendukung sistem mata uang “mengambang terkendali” yang dianut Thailand, sehingga pada bulan Juli 1997 akhirnya pemerintah Thailand harus mengubah sistem mata uangnya menjadi free-float market.
Pada akhirnya, mata uang Thailand Baht terdevaluasi tajam terhadap US Dollar dan mencapai angka terendah senilai 56 Baht per 1 USD pada bulan Januari 1998.
Hal inilah yang menjadi awal mula krisis finansial di Thailand, yang pada akhirnya menyebar ke beberapa negara Asia lainnya, salah satunya adalah Indonesia yang terkena imbasnya secara sangat signifikan.
Spekulan Merajalela, Indonesia Terancam
Saat ini, ulah spekulan tampaknya kembali menampakkan dirinya, seiring dengan glontoran dana stimulus secara besar-besaran oleh AS dalam rangka menanggulangi krisis pada tahun 2008 silam, negara-negara berkembang di Asia tidak terkecuali Indonesia telah kebanjiran “hot money” atau “uang panas”.

Namun saat ini, indikasi cukup kuat bahwa bank sentral AS akan mulai menarik program stimulusnya, sehingga hal ini membuat para spekulan berbondong-bondong menarik investasinya dari Indonesia. Ulah spekulan inilah yang akhirnya mengakibatkan mata uang Rupiah terdevaluasi tajam saat ini.
Baru spekulasi saja, Rupiah sudah tersungkur, apalagi jika The Fed nanti memang jadi melaksanakan rencana penarikan program stimulusnya pada bulan September 2013 mendatang, maka tidak menutup kemungkinan kalau nasib mata uang Rupiah akan cukup mengenaskan. Hingga akhir bulan Agustus 2013 ini, nilai spot Rupiah saja sudah diperdagangkan di kisaran Rp 10.945 per USD.
Layaknya seperti Thailand pada tahun 1997, cadangan devisa dari Indonesia saat ini dinilai tidak akan kuat untuk menopang pelemahan nilai tukar Rupiah secara terus menerus. Dibulan Juni 2013 saja, cadangan devisa Indonesia sudah menurun ke bawah level 100 miliar USD dan di bulan Juli 2013 dilaporkan sudah menyusut hingga tersisa sekitar 92 miliar USD.
Jika Rupiah terus terdevaluasi, maka ekonomi Indonesia akan kembali terancam dilanda krisis, terutama perusahaan-perusahaan dalam negeri yang mempunyai utang yang besar dalam bentuk US Dollar. Jika perusahaan-perusahaan tersebut pada akhirnya banyak yang bangkrut, hal ini akan berakibat melonjaknya tingkat pengangguran secara signifikan dan mengikis daya beli masyarakat.
Pada akhirnya, hal tersebut berujung ke tidak berputarnya roda perekonomian, dengan kata lain terjadi krisis ekonomi.
Sebagai informasi, sebelum krisis tahun 1997 terjadi, nilai tukar Rupiah berada di kisaran 2600 Rupiah per USD. Krisis yang bermula dari Thailand ini akhirnya mengakibatkan Rupiah jatuh hingga ke level 11.000 Rupiah per USD pada 9 Januari 1998, bahkan nilai spot Rupiah sempat diperdagangkan pada kisaran 15.000 per USD pada paruh pertama tahun 1998.

Krisis finansial ini mengakibatkan Indonesia kehilangan hampir 14% dari GDP-nya di tahun 1998 dan terjadi inflasi besar-besaran hingga mencapai 77% di tahun 1998.
Maka kesimpulannya, sangat penting saat ini bagi pemerintah Indonesia untuk menciptakan kebijakan-kebijakan yang efektif dalam rangka stabilisasi nilai tukar Rupiah. Jika pemerintah Indonesia gagal mempertahankan Rupiah, seperti Thailand pada tahun 1997 yang gagal mempertahankan mata uangnya, maka tidak menutup kemungkinan krisis layaknya seperti tahun 1997-1998 bisa saja kembali terjadi di tanah air.

Kebijakan-Kebijakan Pemerintah dan Peran IMF (International Monetary Fund) dalam Mengatasi Krisis Ekonomi
            Pada awalnya pemerintah berusaha untuk menangani sendiri masalah krisis ini. Namun setelah menyadari bahwa merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tidak dapat dibendung sendiri,lebih lagi cadangan dollar AS di BI sudah mulai menipis karena terus digunakan untuk meningkatkan kembali nilai tukar rupiah, tanggal 8 Oktober1997 pemerintah resmi akan meminta bantuan kepada IMF. Strategi pemulihan IMF dalam garis besarnya ialah mengembalikan kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri terhadap kinerja ekonomi Indonesia. Inti dari setiap program pemulihan ekonomi adalah restrukturisasi sektor finansial (Fischer 1998b). Kemudian antara Indonesia dan IMF membuat nota kesepakatan, terdiri atas 50 butir kebijakan mencakup ekonomi makro (fiskal dan moneter), restrukturisasi sektor keuangan, dan reformasi struktural, yang ditandatangani bersama.
            Butir-butir dalam kebijakan fiskal meliputi, tetap menggunakan prinsip anggaran berimbang, usaha-usaha untuk mengurangi pengeluaran, seperti menghilangkan subsidi BBM dan listrik serta membatalkan sejumlah proyek infrastruktur besar, dan yang terakhir meningkatkan pendapatan pemerintah dengan penangguhan PPN dan fasilitas pajak serta bea cukai, mengenakan pajak tambahan terhadap bensin, memperbaiki audit PPN dan memperbanyak objek pajak.

Namun kesepakatan itu gagal, karena syarat-syarat dari IMF dirasa berat oleh Indonesia. Maka dari itu dilakukanlah negosiasi dan dihasilkan kesepakatan yang ditandatangani 15 Januari 1998. Pokok-pokok dari program IMF itu antara lain, kebijakan makro ekonomi yang terdiri dari kebijakan fiskal dan kebijakan moneter serta nilai tukar, kemudian restrukturisasi sektor keuangan yang terdiri dari program restrukturisasi bank dan memperkuat aspek hukum dan pengawasan untuk perbankan, dan yang terakhir adalah reformasi structural yang terdiri dari perdagangan luar negeri dan investasi, deregulasi dan swastanisasi, social safety net dan lingkungan hidup.
            Pelaksanaan kesepakatan kedua ini kembali menghadapi bebagai hambatan, kemudian diadakan negosiasi ulang yang menghasilkanSupplementary Memorandum pada tanggal 10 April 1998 yang terdiri atas 20 butir, 7 appendix dan satu matriks. Strategi yang akan dilaksanakan adalah menstabilkan rupiah pada tingkat yang sesuai dengan kekuatan ekonomi Indonesia, memperkuat dan mempercepat restrukturisasi sistim perbankan, memperkuat implementasi reformasi struktural untuk membangun ekonomi yang efisien dan berdaya saing, menyusun kerangka untuk mengatasi masalah utang perusahaan swasta, dan yang terakhir adalah mengembalikan pembelanjaan perdagangan pada keadaan yang normal, sehingga ekspor bangkit kembali.
Sedangkan ke tujuh appendix itu antara lain, kebijakan moneter dan suku bunga, pembangunan sektor perbankan, bantua anggaran pemerintah untuk golongan lemah, reformasi BUMN dan swastanisasi, reformasi structural, restrukturisasi utang swasta, dan hukum kebangkrutan dan reformasi yuridis.


Analisa Perekonomian Indonesia Tahun 2015
Saat ini Indonesia kembali terancam mengalami krisis ekonomi. Bank sentral AS mulai menarik program stimulusnya, sehingga para spekulan menarik kembali investornya di Indonesia. Hal ini pasti akan memberikan dampak yang besar bagi perekonomian Indonesia. Bayangkan saja, disaat nilai tukar rupiah sedang melemah saat ini, dimana USD1 hampir mencapai Rp 11.000,- para investor beramai-ramai menarik investasinya tentunya Indonesia akan menanggung nilai kurs yang cukup tinggi. Apabila hal ini terus terjadi, maka perusahaan-perusahaan yang memiliki hutang di luar negeri juga akan merasakan dampaknya. Jumlah hutang perusahaan-perusahaan tersebut akan semakin membengkak. Alternatif yang diambil untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menutup usahanya sehingga menyebabkan penambahan jumlah pengangguran di Indonesia. Maka dapat dipastikan,Indonesia akan kembali mengalami krisis ekonomi seperti yang terjadi pada tahun 1997.

Krisis ekonomi ini menyebabkan Indonesia harus mengeluarkan 14% GDP-nya untuk melunasi hutang ke luar negeri.Padahal jika GDP yang hilang tersebut dimanfaatkan untuk memperbaiki struktur ekonomi Indonesia,maka tentu saja akan akan kondisi perekonomian Indonesia pada saat ini lebiha baik.
Kondisi seperti ini tidak boleh terjadi secara berkesinambungan.Uang Negara selalu dihabiskan untuk menutupi hutang diluar negeri yang jumlahnya terus bertambah.Jika uang Negara selalu di alokasikan untuki menutupi hutang,bagaimana dengan infrastruktur Indonesia yang masih sangat membutuhkan perhatian dan perbaikan? Oleh sebab itu, pemerintah harus mebuat suatu kebijakan-kebijakan baru untuk dapat mengatasi hutang-hutang tersebut.

Solusi-solusi lain yang mungkin dapat diambil untuk mengurangi jumlah hutang diluar negeri antara lain:
1.      Meningkatkan daya beli masyarakat melalui pemberdayaan pedesaan dan UMKN
2.      Meningkatkan pajak secara progresif terbadap barang impor dan barang mewah
3.      Konsep pembangunan yang berkesinambungan,berlanjut dan mengarah pada suatu titik maksimal,dan melepaskan secara bertahap ketergantungan hutang diluar negeri.
4.      Menciptakan rasa 0bangga akan produksi dalam negeri dan berupaya untuk menggalakkan barang-barang ekspor
5.      Mengembangkan sumber daya manusia berkualitas dan menempatkan kesejahteraan yang adil dan merata.